Evaluasi Implementasi Blended Learning Pada Pembelajaran Pendidikan Tinggi Di Era Revolusi Industri 4.0
1. Latar
Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang masif saat ini menjadi alasan
Perguruan Tinggi untuk turut menginovasi pembelajaran agar tetap relevan dalam
penyelenggaraan pendidikan Abad 21. Di dunia pendidikan, penggunaan
TI akan sangat membantu dalam pengembangan, perencanaan, penentuan strategi,
dan implementasi program pembelajaran (Balanskat & Gertsch, 2010; Law, 2008) yang tentunya
akan berimplikasi pada peningkatan kualitas layanan akademik yang di siswa atau
mahasiswa (Vanderlinde, Dexter, van Braak, 2012). Menyikapi peluang eksploitasi
teknologi tersebut, banyak peneliti dan perguruan tinggi kini gencar menawarkan
blended learning sebagai model yang
efektif dan rendah risiko dalam penyelenggaraan pembelajaran terintegerasi
teknologi (Garrison dan Kanuka, 2004). Blended learning memungkinkan dosen
untuk menyenggarakan pendidikan berbantuan teknologi tanpa meninggalkan tatap
muka (Singh, 2003; Garrison dan Kanuka, 2004; Oliver dan Trigwell, 2005)
Pada tahun
2018, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
telah memperbaharui rancangan kurikulum dan membakukannya dalam Panduan
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0 (Dirjen
Belmawa-Kemeristekdikti, 2018). Dalam panduan tersebut dosen diarahkan untuk
mengadopsi Blended Learning dan
mewadahi arahan tersebut dengan format RPS baru yang menyediakan kolom tatap
muka dan daring. Bersamaan dengan panduan tersebut, Kemenristekdikti
mengembangkan SPADA (Sistem Pembelajaran Daring-Indonesia) untuk meningkatkan
sistem pembelajaran tanpa mengorbankan kualitas (spada-ristekdikti, 2018).
SPADA di desain khusus untuk menjawab beberapa tantangan pendidikan tinggi
seperti kapasitas perguruan tinggi yang terbatas; keterjangkauan PT yang rendah
dikarenakan sebaran yang kurang merata; masih banyaknya perguruan tinggi yang
belum memiliki sumber daya pendidikan yang memadai dan berkualitas, perguruan
tinggi bermutu lebih banyak masih terkonsentrasi di pulau Jawa; masih
rendahnya layanan pendidikan tinggi yang setara dan bermutu; dan masih
rendahnya jaminan pemenuhan kebutuhan dan permintaan pendidikan tinggi yang bermutu
(spada-ristekdikti, 2018). Disamping itu, Universitas Negeri Medan (Unimed) secara
khusus juga telah mengembangkan aplikasi pembelajaran daring untuk mendukung blended learning bernama SIPDA (Sistem
Pembelajaran Daring).
Berdasarkan arah kebijakan di atas, dapat dipahami
bahwa inovasi tersebut secara mandatori telah menginstruksikan dosen untuk
mengubah caranya bekerja. Hal tersebut berakibat pada pergeseran kompetensi yang
harus dimiliki tenaga pendidik (Cocrane, 2010). Pergeseran kompetensi terjadi
karena adanya kebutuhan penggunaan teknologi dalam kegiatan pembelajaran
(Arends, 2006; Cristensen
dan Knezek, 2017). Beberapa
studi terakhir mengkhawatirkan adanya keterbatasan praktik pengintegerasian
teknologi dalam kegiatan pembelajaran (Cocrane, 2010; Sun, Strobel, dan
Newby, 2016; Cristensen dan Knezek, 2017). Keterbatasan praktik yang dikhawatirkan bukan hanya
karena dosen belum terbiasa menggunakan sistem informasi pembelajaran, tetapi
juga karena keterbatasan kemampuan pedagogik dalam mengintegerasikan TIK dalam
pembelajaran. Sebab, blended learning
yang sebenarnya dapat melibatkan mahasiswa dalam pengalaman belajar selama ia
berupaya memahami sesuatu (Oliver-Trigwell, 2005). Artinya, penyelenggaraan
blended-learning semestinya lebih dari sekadar mencampur pertemuan tatap muka
dengan daring, tetapi dosen harus bisa memberikan pengalaman belajar yang lebih
baik melalui desain pembelajaran blended
daripada dengan model yang selama ini telah dilaksanakan. Karenanya, dibutuhkan
kemampuan pedagogik dan desain instruksional yang memadai dalam pelaksanaan blended learning. Pandangan-pandangan
tersebut mengindikasikan bahwa dosen membutuhkan pemahaman yang baru dalam
pergeseran pola kerja di era industri 4.0 ini. Oleh sebab itu, menindaklanjuti
pengembangan SIPDA, Unimed secara berjenjang menyelenggarakan pelatihan
dan workshop pengembangan RPS (Rencana Program Semester) di level universitas,
fakultas, dan prodi sebagai program pengembangan staff agar siap dan terbantu
dalam mengembangkan rancangan pembelajaran bermodel blended learning dan mengimplementasikannya. RPS dipandang penting
karena merupakan rancangan awal desain instruksional yang selanjutnya menjadi
prosedur operasional standar di dalam kelas. RPS menjadi cerminan kompetensi
dosen dalam menyelenggarakan blended learning. Dengan demikian studi ini
berupaya mengevaluasi implementasi
blended learning pada pembelajaran
pendidikan tinggi di Era Industri 4.0.
2. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam
penelitian ini, antara lain:
1. Apakah konteks pelaksanaan blended
learning telah sesuai dengan harapan Standar NasionalPendidikan Tinggi?
2. Apakah dosen dan mahasiswa memiliki
kapabilitas yang memadai dalam pelaksanaan blended learning?
3. Apakah proses pelaksanaan blended learning
telah sesuai dengan harapan Standar Nasional Pendidikan Tinggi?
4. Apakah RPS blended learning yang
dihasilkan telah sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi?
3. Kerangka
Pemikiran
4. Metodologi
Penelitian ini akan dilakukan di Fakultas Ekonomi,
Universitas Negeri Medan. Populasi penelitian ini adalah dosen di Jurusan
Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Medan. Sampel dipilih dengan
teknik total sampling. Jurusan Ekonomi menaungi empat program studi, yakni,
Ilmu Ekonomi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Bisnis, dan Pendidikan
Administrasi Perkantoran, dengan 54 (lima puluh empat) orang tenaga pendidik.
Alasan pemilihan lokasi, populasi, dan sample karena dosen-dosen di Fakultas
Ekonomi adalah dosen-dosen yang terdampak dari kebijakan rektor terkait
implementasi blended learning yang
bersifat mandatori dan secara umum memiliki kewajiban yang sama untuk
melaksanakan permenristekdikti no 44 tahun 2015 Tentang Standarisasi Nasional
Pendidikan Tinggi dan Perpres No. 08 tahun 2012 tentang KKNI. Selanjutnya,
Jurusan Ekonomi merupakan jurusan dengan mahasiswa terbanyak dan memiliki prodi
unggulan, sehingga efektivitas kinerja prodi akan memiliki dampak yang lebih
luas dibandingkan jurusan lainnya. Disamping itu, Jurusan Ekonomi dapat menjadi
acuan dari jurusan lain, sehingga inovasi yang terjadi sebagai implikasi dari
studi evaluasi ini dapat diadopsi oleh jurusan lain atau digeneralisasi oleh
jurusan ekonomi.
Penelitian
ini merupakan penelitian bermetode campuran (Creswell, 2002). Studi campuran
tersebut akan dioperasionalkan sesuai dengan prosedur studi evaluasi bermodel
CIPP (Context, Input, Process, Product). Evaluasi ditujukan untuk mengkaji
kesiapan dosen dalam melaksanakan pembelajaran bermodel blended learning dalam melaksanakan pembelajaran di era industri
4.0 sebagai amanah dari dirjen belmawa dalam panduan pengembangan kurikulum
tahun 2018 (Dirjen Belmawa-Ristekdikti, 2018), Standar Nasional Pendidikan
Tinggi dalam Permenristek No. 44 Tahun 2015, Penyesuaian Kualifikasi dengan
Kerangka KKNI dalam Perpres No. 08 tahun 2012, dan Amanah Rektor Unimed.
Kesiapan tersebut diukur dengan mengevaluasi rancangan perangkat pembelajaran
(RPS) yang telah dikembangkan dosen. Prosedur evaluasi menurut Stufflebeam
(1983) diurai sebagai berikut:
1.
Context: Konteks akan dikaitkan dengan
SNPT dan KKNI. Pengembangan RPS tidak boleh lepas dari standar yang telah
diekspektasikan dan rerangka kualifikasi yang telah distandarkan. Sehingga,
proses blended learning dari tahap-ketahap semestinya mengandalkan nilai dari
proses tatap muka maupun daring sesuai harapan SNPT dan KKNI. Dosen harus
memiliki argumentasi ilmiah dalam menyediakan materi ajar dalam jaringan,
penentuan kelas daring dan tatap muka, melibatkan perangkat multimedia dan
sebagainya dalam upaya meningkatkan kualitas pengalaman belajar mahasiswa.
2.
Input: input akan diukur secara
kuantitatif menggunakan kuisioner elektronik yang mengekplorasi kapabilitas
dosen dalam menyelenggarakan pembelajaran blended
learning. Kapabilitas tersebut termasuk: penggunaan LMS-SIPDA, kemampuan
mengelola LMS-SIPDA, kemampuan mengintegerasikan TIK dalam pembelajaran, dan
kemampuan mendesain kegiatan pembelajaran terintegerasi TI, dalam hal ini
blended learaing.
3.
Proses: Proses akan mencakup kesesuaian
proses masa workshop dan penyelenggaran pendidikan bermodel blended learning dengan ekspektasi
Panduan Pengembangan kurikulum Dirjen Belmawa, SNPT dan KKNI. Data evaluasi
proses didapatkan dari obervasi proses, wawancara dengan dosen, dan FGD
responden kunci terkait pelaksanaan program.
4.
Product: Product ditinjau dari perangkat
pembelajaran (RPS) dari keseluruhan dosen dan FGD bersama ahli untuk mengkaji
kesesuaian RPS untuk menyelenggarakan Blended Learning yang diharapkan dan
mengacu pada SNPT.
5. Referensi
Arends, R. (2006). Learning to
teach.
Belajar untuk mengajar (Vol. 7). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Balanskat, A., &
Gertsch, C. A. (2010). Review of national curricula and assessing digital
competence for students and teachers: Findings from 7 countries. Brussels: European Schoolnet.
Christensen, R., &
Knezek, G. (2017). Readiness for integrating mobile learning in the classroom:
Challenges, preferences and possibilities. Computers in Human Behavior, 76,
112-121.
Cochrane, T. D. (2010). Exploring mobile
learning success factors. ALT-J: Research in Learning Technology, 18(2),
133–148.
Creswell, J. W.
(2002). Educational research:
Planning, conducting, and evaluating quantitative (pp. 146-166). Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall.
Direktorat Jendral
Pembelajaran dan Kemahasiswaan-Ristekdikti (2018) Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era
Industri 4.0-Dirjen Belmawa-Ristekdikti
Garrison, D. R., &
Kanuka, H. (2004). Blended learning: Uncovering its transformative potential in
higher education. The internet and higher education, 7(2), 95-105.
Law, N. (2008). Teacher
learning beyond knowledge for pedagogical innovations with ICT. In International handbook of information technology in
primary and secondary education(pp. 425-434). Springer, Boston, MA.
Oliver, M., & Trigwell,
K. (2005). Can ‘blended learning’be redeemed?. E-learning and Digital Media, 2(1), 17-26.
Permenristedikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi
Perpres Nomor 8 Tahun 2012
Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
Singh, H. (2003). Building
effective blended learning programs. Educational Technology-Saddle Brook Then
Englewood Cliffs NJ-, 43(6), 51-54.
Spada-Indonesia (2018)
Sistem Pembelajaran Daring Indonesia-Ristekdikti, ristekdikti.go.id
Stufflebeam, D. L. (1983).
The CIPP model for program evaluation. In Evaluation models (pp.
117-141). Springer, Dordrecht.
Sun, Y., Strobel, J., &
Newby, T. J. (2017). The impact of student teaching experience on pre-service
teachers’ readiness for technology integration: A mixed methods study with
growth curve modeling. Educational Technology Research and Development, 65(3),
597-629.
Vanderlinde, R., van Braak,
J., & Dexter, S. (2012). ICT policy planning in a context of curriculum
reform: Disentanglement of ICT policy domains and artifacts. Computers & Education, 58(4), 1339-1350.

Luar biasa bu efi, ide penelitian yg bagus. Pembelajaran dgn Blended learning, merupakan jawaban u/ menghadapi revolusi 4.0.
BalasHapusDgn blended learning, mampu memadukan kecakapan berpikir & menjelaskan dgn teknologi modern yg mau tdk mau hrs ditaklukkan
Makasi mas Rante..
HapusSaya sepakat dengan yang disampaikan pak Rante. Rancangan penelitian yang bener" mampu menjawab kondisi saat ini, dimana pemanfaatan teknologi saat ini harus bener" diimplementasikan dalam dunia pendidikan, dan dengan ide ini, saya rasa revolusi 4.0 bukanlah hal yang tabu lagi bagi kita. Semangat Bu Efi...
BalasHapusMakasi mas Syaiful..
HapusSelain revolusi 4.0, kita juga butuh society 5.0. Biar bisa seimbang antara teknologi dan kecerdasan sosial poenggunanya.
BalasHapusKeren kak.
Oke siap.. Makasi masukannya Del.. 😉
HapusMantaf mbak Effy....Salah satu problem pembelajaran blanded learning adalah "Too Much Too Soon" artinya makin banyak makin kemudahan teknologi/fitur membuat kadang substansi peningkatan kompetensi diabaikan. Siswa sibuk dg fiturnya sehingga lupa dengan substansi materinya...Mudah2n dapat diatasi...
BalasHapusBenar pak. Untuk itu perlu peningkatan kompetensi gurunya agar mampu memberikan substansi materi sesuai urutannya, tanpa mengganggu materi lain dan menggunakan teknologi sebagai alat bantu, bukan sebagai fokus utama.
Hapus